“Bahan bakar yang ada sekarang ini yaitu Solar dan Premium kualitasnya masih di bawah standar Euro-2. Jadi standar Euro-2 yang diterapkan masih Euro-2 versinya Indonesia,”
Sekarang ini Eropa sedang mempersiapkan penerapan standar emisi gas buang pada level Euro-6, sementara itu Indonesia baru akan beranjak ke Euro-4 pada 2018 nanti. Padahal data Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) menunjukkan Indonesia mempunyai emisi gas buang yang jauh di bawah standar.
Inilah yang membuat Forum Wartawan Otomotif [FORWOT] menggagas diskusi bersama Pertamina, Gaikindo dan KPBB di Jakarta, Rabu 27 Juli 2016 kemarin. Temanya adalah “Tantangan Menuju Euro-6”.
Baca: Perlukah Bayar Bensin Lebih Mahal untuk Oktan Lebih Tinggi?
Baca: Perlukah Bayar Bensin Lebih Mahal untuk Oktan Lebih Tinggi?
Indra Prabowo ketua FORWOT mengutarakan “Negara-negara Eropa telah menerapkan standar Euro-5, sementara Indonesia masih Euro-2 dan baru akan menerapkan Euro-4 pada 2018. Kami tidak mau Indonesia terus tertinggal. Di sini kita ingin mengetahui seberapa siap Indonesia melangkah ke Euro-6?”
Memang, Indonesia ketinggalan dari negara-negara Eropa. Tidak usah jauh-jauh, dibandingkan negara tetangga saja sudah lewat. Semestinya Indonesia bisa lebih maju dari Malaysia, Singapore, Thailand, India dan bahkan Vietnam bila ditilik dari sejarah industri kendaraannya.
“Industri otomotif di Tanah Air telah berjalan sejak 1920-an. Sementara melihat Thailand maupun Filipina baru memulai 1960-an,” terang Puput dari KPBB. Ia juga memaparkan bahwa India telah mampu melompat ke Euro-4 dan bahkan Singapura sudah bersiap menuju Euro-6 dalam waktu dekat.
“Mudah-mudahan pada 2019, Pertamina bersama investor telah memikirkan bahan bakar bukan hanya Euro-4,” harapnya.
Namun faktanya, “Bahan bakar yang ada sekarang ini yaitu Solar dan Premium kualitasnya masih di bawah standar Euro-2. Jadi standar Euro-2 yang diterapkan masih Euro-2 versinya Indonesia,” lanjut Puput
Paparan KPBB
Sebenarnya Pertamina sudah menyuplai bahan bakar yang lebih berkualitas yakni Pertamax dan Pertamax Plus serta DEX. Tapi jenis BBM tersebut tidak terlalu menarik minat pengguna kendaraan. Jelas di benak mereka masih berprinsip “Kalau mobil dan motor masih bisa jalan dengan jenis BBM murah, kenapa harus beli yang mahal”.Peneliti dari Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri (LAPI) ITB, Tri Yus Wijayanto yang diundang sebagai pembicara dalam diskusi sempat menyindir wartawan dengan pertanyaan “Ayo siapa yang masih pakai premium, ngaku.?” Dan semua yang di ruangan pun tergelak.
“Di kawasan Skandinavia sudah menetapkan pada 2020 tak lagi ada emisi gas buang. Repotnya kita adalah negara yang masih menjadi pasar. Hal itu tak lepas dari kebijakan Pemerintah,” ujar Tri Yus Widjajanto.
Ia menambahkan untuk Euro-6 harus disiapkan teknologi mesin yang lebih maju dan proses emisinya tidak boleh ada unsur kimia beracun seperti Pb (timbal), Mn (mangan) dan Fe (besi). Lebih detailnya sistem pembuangan bahan bakar harus sudah mengaplikasikan 4-Way Catalytic Converter.
Ia menambahkan untuk Euro-6 harus disiapkan teknologi mesin yang lebih maju dan proses emisinya tidak boleh ada unsur kimia beracun seperti Pb (timbal), Mn (mangan) dan Fe (besi). Lebih detailnya sistem pembuangan bahan bakar harus sudah mengaplikasikan 4-Way Catalytic Converter.
Sementara itu Munawar Cholil, wartawan senior menegaskan tentang pentingnya peran pemerintah. “Pemerintah harus tegas. Bila pemerintah minta segera diterapkan Euro-4, pasti para pelaku industri kendaraan bermotor akan berusaha menerapkannya sesuai waktu yang ditentukan.”
Hal senada diungkapkan Rouli Sijabat PR Manager Toyota Astra Motor ketika kami wawancarai di luar arena diskusi. “Secara teknologi kami sudah siap. Toyota adalah produk global yang melayani konsumen di berbagai belahan dunia. Bahkan Toyota Indonesia sendiri telah mengekspor mobil ke negara-negara yang mempunyai bermacam regulasi emisi gas buang,” katanya saat ditemui di acara first handover to customer Toyota Sienta di Surabaya (28/7).
Kembali kepada kesimpulan diskusi, saat ini Pertamina Solusi Bahan Bakar Berkualitas dan Ramah Lingkungan masih menyesuaikan dengan apa yang dipasarkan di masyarakat, sebab dari sisi market lebih memilih mana yang menguntungkan. Solusi teknologi sangat besar untuk menekan emisi gas buang, tapi tetap bergantung dari penentu kebijakan dan produsen apakah akan menerapkannya atau tidak.